27.7.10

Hukum Memperingati Malam Nisfu Sya'ban dan Hari Besar Islam Lainnya

Fatwa Darul Ifta' Mesir

Pertanyaan:

Mohon penjelasan mengenai beberapa permasalahan berikut ini:

1. Sejak lama kami selalu mengadakan acara peringatan malam Nisfu Sya'ban. Dalam acara itu seluruh penduduk desa –baik laki-laki maupun perempuan, besar maupun kecil— berkumpul di masjid untuk melaksanakan salat Magrib. Setelah salat, kami membaca surat Yâsîn sebanyak tiga kali. Setiap kali selesai membaca surat Yâsîn kami berdoa dengan doa-doa yang disebutkan dalam Alquran yang berisi doa untuk Islam dan kaum muslimin. Dahulu, kami membaca doa khusus malam Nisfu Sya'ban secara bersama-sama dan bersuara keras. Tapi sekarang kami menggantinya dengan doa dari Alquran. Apakah kegiatan memperingati Nisfu Sya'ban dengan cara yang kami lakukan itu adalah dibolehkan?

2. Kami juga mengadakan peringatan hari-hari besar Islam lain, seperti peringatan Lailatul Qadr, Isra` dan Mi'raj, maulid Nabi saw. dan lain sebagainya. Dalam acara itu kami mengundang beberapa orang ulama untuk memberikan ceramah dan nasehat berkaitan dengan peristiwa itu. Acara itu juga dimeriahkan dengan perlombaan-perlombaan dan pembacaan doa-doa yang disiarkan dengan alat pengeras dari masjid. Masjid yang digunakan sebagai tempat acara peringatan itu dihiasi dengan berbagai macam dekorasi dan lampu-lampu hias. Kami juga kadang merekam acara itu dengan kamera video. Para ulama yang hadir dalam acara itu menempati tempat khusus yang menghadap ke arah para hadirin. Para penghafal Alquran dan pengurus masjid yang rajin diberi penghargaan. Dalam acara itu para hadirin diberi makanan dan minuman ringan. Apakah acara seperti ini dibolehkan dalam agama?

Jawaban
(Oleh: Mufti Besar Prof. Dr. Ali Jum'ah Muhammad):

Pertama: Malam Nisfu Sya'ban merupakan malam yang penuh keberkahan. Keutamaan malam itu disebutkan dalam banyak hadis yang saling menguatkan. Mengadakan peringatan dan menghidupkan malam Nisfu Sya'ban adalah amalan yang sesuai dengan tuntunan agama. Hadis-hadis tentang keutamaan malam tersebut tidak termasuk hadis-hadis yang sangat dha'if atau maudhu'.

Di antara hadis-hadis yang menyebutkan keutamaan malam Nisfu Sya'ban ini adalah:

Hadis Ummul Mukminin Aisyah r.a., dia berkata, "Pada suatu malam, saya tidak mendapati Rasulullah saw.. Lalu saya keluar kamar untuk mencarinya. Akhirnya, saya mendapati beliau di pekuburan Baqi' sedang menengadahkan wajahnya ke langit. Beliau lalu berkata, "Apakah kamu khawatir kalau Allah dan Rasul-Nya berbuat zalim terhadapmu?" Saya menjawab, "Mengapa saya bisa berpikir seperti itu? Saya hanya mengira bahwa engkau pergi ke salah satu istrimu." Lalu beliau bersabda,

إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَنْزِلُ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَيَغْفِرُ لأَكْثَرَ مِنْ عَدَدِ شَعَرِ غَنَمِ كَلْبٍ
"Sesungguhnya rahmat Allah SWT turun ke langit dunia pada malam Nisfu Sya'ban dan mengampuni hamba-hamba-Nya lebih banyak dari jumlah bulu kambing pada kabilah Bani Kalb." (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad).

Bani Kalb adalah kabilah yang terkenal mempunyai kambing paling banyak.

Dari Muadz bin Jabal r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda,

إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقُومُوا لَيْلَهَا وَصُومُوا يَوْمَهَا؛ فَإِنَّ اللَّهَ يَنْزِلُ فِيهَا لِغُرُوبِ الشَّمْسِ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا فَيَقُولُ: أَلاَ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ فَأَغْفِرَ لَهُ ؟ أَلاَ مُسْتَرْزِقٌ فَأَرْزُقَهُ ؟ أَلاَ مُبْتَلًى فَأُعَافِيَهُ ؟ أَلاَ كَذَا أَلاَ كَذَا ...؟ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ
"Jika datang malam Nisfu Sya'ban, maka laksanakanlah salat pada malamnya dan berpuasalah pada siangnya. Karena sesungguhnya rahmat Allah turun ke langit dunia ketika matahari tenggelam pada malam itu. Allah berkata, "Adakah seseorang yang meminta ampunan sehingga Aku ampuni. Adakah seseorang yang meminta rezeki sehingga Aku beri rezeki. Adakah seseorang yang sakit sehingga Aku sembuhkan penyakitnya. Adakah orang yang demikian? adakah orang yang demikian? Dan seterusnya hingga terbit fajar." (HR. Ibnu Majah).

Juga tidak apa-apa membaca surat Yâsîn sebanyak tiga kali setelah salat Magrib dengan suara keras dan bersama-sama. Karena, hal itu masuk dalam perintah menghidupkan malam Nisfu Sya'ban tersebut. Terdapat kelapangan dalam tata cara berzikir. Mengkhususkan tempat atau waktu tertentu untuk melakukan amalan ibadah secara terus menerus adalah dibolehkan selama pelakunya tidak meyakini bahwa amalan tersebut adalah wajib dan tidak boleh ditinggalkan.

Dalam hadis riwayat Abdullah bin Umar r.a., dia berkata, "Nabi saw. mendatangi masjid Quba pada setiap hari Sabtu sambil berjalan kaki atau menunggangi hewan tunggangan." (Muttafaq alaih).

Ibnu Hajar berkata, "Hadis ini, dengan berbagai jalur periwayatannya, menunjukkan kebolehan mengkhususkan hari-hari tertentu untuk melaksanakan amalan saleh secara terus menerus."

Ibnu Rajab, dalam kitab Lathâif al-Ma'ârif, berkata, "Ada dua pendapat para ulama negeri Syam tentang menghidupkan malam Nisfu Sya'ban. Pendapat pertama menyatakan dianjurkan menghidupkannya secara bersama-sama dalam masjid. Pada malam itu, Khalid bin Mi'dan, Lukman bin 'Amir dan lainnya memakai pakaian terbaiknya, menggunakan minyak wangi dan celak mata lalu berdiam di dalam masjid. Ishaq bin Rahawaih menyetujui amalan itu. Dia juga menyatakan bahwa melaksanakan salat secara berjamaah pada malam itu di masjid bukan termasuk amalan bid'ah. Hal ini sebagaimana dinukil oleh Harb al-Kirmani dalam kitab al-Masâi. Pendapat kedua menyatakan bahwa berkumpul di masjid pada malam Nisfu Sya'ban untuk melakukan salat, memberikan nasehat dan berdoa adalah perbuatan makruh. Tapi, jika seseorang melakukan salat secara sendiri maka tidak dimakruhkan. Ini adalah pendapat Awza'i, pemimpin ulama dan ahli fikih negeri Syam."

Dengan demikian, menghidupkan malam Nisfu Sya'ban dengan cara yang disebutkan dalam pertanyaan di atas adalah amalan yang disyariatkan, bukan bid'ah ataupun makruh. Dengan catatan bahwa hal itu dilakukan tanpa keyakinan bahwa hal itu wajib dilaksanakan. Jika kegiatan itu dilakukan dengan memaksa orang lain untuk ikut melaksanakannya dan menyalahkan mereka jika tidak mengikutinya, maka hal itu menjadi amalan bid'ah karena telah mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Allah dan Rasul-Nya saw.. Inilah sebab yang membuat beberapa ulama salaf membenci (menganggap makruh) menghidupkan malam Nisfu Sya'ban secara berjamaah. Jika tidak ada paksaan atau anggapan kewajiban melaksanakannya, maka tidak apa-apa.

Kedua: memperingati hari-hari besar Islam lainnya adalah sesuatu yang baik selama tidak diikuti oleh perbuatan yang dilarang dalam agama. Karena, terdapat dalil dalam Alquran yang menyuruh agar kita mengingatkan orang-orang tentang hari-hari Allah. Allah berfirman,

"Dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah." (Ibrâhîm: 5).

Di dalam Sunnah juga terdapat anjuran untuk melakukan hal tersebut. Dalam Shahîh Muslim diriwayatkan bahwa Nabi saw. melakukan puasa pada hari Senin, dan beliau bersabda,

ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ
"Itu adalah hari yang di dalamnya aku dilahirkan."

Dalam hadis Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dia berkata, "Sesungguhnya Rasulullah saw. ketika datang ke Madinah, menjumpai orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Maka beliau bertanya kepada mereka, "Hari apakah ini sehingga kalian berpuasa?" Mereka menjawab, "Ini adalah hari yang agung. Pada hari ini, Allah 'Azza wa Jalla menyelamatkan Musa dan kaumnya serta menenggelamkan Fir'aun dan kaumnya. Lalu Musa berpuasa pada hari itu sebagai rasa syukur kepada Allah. Maka kami pun berpuasa karenanya." Rasulullah saw. pun bersabda, "Kalau demikian, maka kami lebih berhak dan utama untuk melaksanakannya daripada kalian." Maka Nabi saw. pun berpuasa dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa."

Dengan demikian, mengadakan perayaan hari-hari besar Islam seperti yang digambarkan dalam pertanyaan di atas adalah perbuatan yang dianjurkan, bukan bid'ah ataupun makruh. Justru itu adalah termasuk dalam mengagungkan syiar-syiar agama. Allah berfirman,

"Dan barangsiapa mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati." (Al-Hajj: 32).

Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.

Sumber: www.dar-alifta.org

2 komentar:

  1. Alhamdulillah, syuran ust dah berbagi :)
    pengen dibaca ma teman2 yg laen lg,
    izin buat disharing ya ust!!!

    BalasHapus

Oase Risalah


Dari Ubadah bin Shamit bahwa Rasulullah saw bersabda: "Barang siapa bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah Yang Esa, tidak ada sekutu baginya, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, dan (bersaksi bahwa) Isa (Yesus) adalah hamba Allah dan rasul-Nya, dan kalimat-Nya yang Dia tiupkan kepada Maryam serta ruh dari-Nya, dan (bersaksi bahwa) surga dan neraka itu benar, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga sesuai kadar amalnya" (HR. Muslim)

Dari Anas ra, Nabi Muhmmad Saw bersabda: "Tidak seorang pun yang bersaksi dengan ketulusan hati bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, melainkan Allah akan mengharamkannya dari api neraka" (HR. Bukhari Muslim).