5.5.09

Bangga Dengan Islam

Islam adalah agama yang mempunyai nilai lebih dibandingkan dengan agama-agama lain. Ditinjau dari segi manapun, Islam tetap yang terbaik. Hal ini terbukti dan diakui oleh kalangan non-muslim sekalipun; sebagaimana pernah saya kutip di artikel "My Choice" pada edisi Maret yang lalu. Akan tetapi, bila kita melihat fenomena agama ini di saat ini, kejanggalanlah yang sering kita temukan; agama menjadi bahan tontonan, membuat pikiran dipenuhi dengan pertanyaan.

Bukankah Islam, agama yang harum di beberapa abad yang silam?! Bukankah Islam, agama yang mengangkat harkat dan martabat manusia?! Tapi fakta berbicara, Islam tidak seindah di masa Nabi Muhammad Saw., tidak juga seindah di masa Abu Bakar ra dan pejuang-pejuang Islam lainnya. Kenapa demikian? Kok bisa berbeda?! Bukankah kita juga menjadikan Al-Quran sebagai landasan hidup juga?

Di sini, saya mau mengajak para pembaca untuk bertamasya sebentar ke masa jayanya Islam. Masa yang membuat ummatnya benar-benar bangga terhadap agama ini.

Di masa-masa sebelumnya, Islam adalah penguasa peradaban. Para ilmuan Barat juga pernah belajar dari ulama-ulama muslim yang ketika itu berada di Cordova, Spanyol. Bentuk universitas-universitas tertua di Eropa yang rata-rata hampir sama dengan bentuk mesjid dan pakai kubah misalnya, merupakan bukti konkrit dari semua itu. Selain itu, buku “Al-Qonun fi Al-Fiqh” yang disusun oleh Imam Ghozali, merupakan buku rujukan di Jerman, begitu halnya dengan buku kedokeran yang disusun oleh Ibn Sina. Logaritma sebagai salah satu cabang ilmu dalam matematika; siapa penemunya kalau bukan orang Islam dari kalangan Khawarij?! Masih banyak contoh lain yang membuktikan kalau Islam pernah jaya, menjadi guru dan menguasai peradaban.

Jadi, kita umat Islam bukanlah umat primitive. Peradaban Islam dahulu sudah maju di saat Barat masih tertidur dalam kebodohan. Namun setelah belajar dari ulama-ulama Islam, timbullah semangat mereka yang membuahkan gerakan kebangkitan kembali yang dikenal dengan istilah renaisans.

Pada dasarnya, maju dan mundurnya agama ini, tidak terlepas dari mereka yang mengaku sebagai pemeluknya. Lebih jelasnya, Islam adalah sebuah nama ajaran dan kepercayaan yang diwujudkan kepada suatu aplikasi, berlandaskan wahyu Ilahi yang sifatnya aplikabel. Ketika ajaran agama ini diaktualisasikan oleh ummatnya dengan baik dan menyeluruh, maka akan terwujud kemajuan. Namun jika yang terjadi adalah penyalahgunaaan oleh ummatnya sendiri, kemunduranlah yang akan terjadi. Sekulerisasi Islam, liberalisasi Islam, komunisasi dan sejenisnya merupakan bentuk dari penyalahgunaan tersebut; kesemuanya adalah ‘makhluk-makhluk aneh’; tampil dengan background mempesona yang berorientasikan pada segala sesuatu yang bisa diselesaikan dengan akal pikiran.

Inilah sebenarnya problema yang memecah belah umat; musuh dalam selimut, tampil memikat dengan tawaran-tawarannya yang menggiurkan.

Islam punya aturan hidup. Islam menjadikan berpikir sebagai suatu aktifitas hidup. Hal ini sejalan dengan ungkapan yang sudah familiar dikalangan para filosof, “manusia adalah hewan yang berfikir”. Dengan kesimpulan – yang mungkin masih tergesah-gesah – “ketika ada manusia yang tidak berfikir maka yang tersisa hanyalah hewannya.”

Oleh karena itu, sungguh aneh ketika ada orang yang berjalan dengan semaunya, tanpa mau mengikuti aturan yang ada. Kalau peraturan lalu-lintas di Indonesia para pengendara berjalan di sebelah kiri, namun kalau di Kairo di sebelah kanan. Tapi yang menjadi beban pikiran dan juga harus di-clear-kan adalah orang yang berjalan tanpa aturan; tidak aturan Indonesia dan tidak juga aturan Kairo; malah dia bejalan sesukanya. Begitu juga halnya dengan pikiran manusia. Ketika akal pikiran ‘dijalankan’ tanpa aturan dan petunjuk Al-Qur’an dan Al-Sunnah, lalu dijadikan sebagai satu-satunya tolak ukur terhadap segala sesuatu, maka Islam akan tetap terperosot seperti yang kita saksikan sekarang ini. Pola pikir ‘tanpa aturan’ inilah yang kadang meracuni ‘sebahagian saudara’ kita yang ada di bagian filsafat. Atas nama filsafat dan pemikiran, tanpa sadar mereka menjadi kuli pembantu bagi ‘oknum-oknum luar’ yang berusaha mencari titik-titik lemah umat ini dan kemudian menjungkirbalikkannya dari belakang.

Prof. Sunan Taqdir Ali Sahbana adalah salah satu pakar filsafat Barat yang lumayan tenar; ketika beliau ditanya tentang hakikat filsafat, beliau tidak tahu. Ini menunjukkan filsafat itu tidak mempunyai pola pikir yang jelas dan tidak terarah. Karena cara berpikir di kalangan mereka adalah tanpa panduan yang jelas, yang terpenting adalah berpikir dan berpikir. Akhirnya, hasil pemikiran mereka didominasi kesalahan; satu benar dan sepuluh salah.

Namun demikian, kita tetap harus mengakui jika berfilsafat ataupun berpikir itu mempunyai peranan yang sangat besar dalam kehidupan manusia. Tapi di sisi lain, filsafat juga bisa menjadi meracuni pikiran manusia; lebih konkritnya saat filsafat ataupun akal dijadikan sebagai satu-satunya barometer kebenaran segala sesuatu, sebagaimana prinsip Mu’tazillah: “Yang benar adalah yang dibenarkan akal dan yang salah adalah yang disalahkan akal.”

Berpikir sebagai aktifitas akal dan sebagai ruh dari filsafat, pada dasarnya tidak dikesampingkan oleh Islam. Justru seperti yang disebutkan di atas tadi, berpikir dalam Islam adalah sebagai suatu aktifitas hidup. Dalam Al-Qur’an sendiri, tidak sedikit nash yang menggambarkan urgensi berpikir. “Afalaa ta’qiluun” (Apakah kalian tidak berakal?!), “Afalaa tatafakkaruun“ (Apakah kalian tidak berpikir?!) adalah di antara kutipan nash Al-Qur’an yang memotivasi berpikir. Demikian juga dalam Hadits, misalnya hadits Mu’adz bin Jabal yang menjadikan ijtihad sebagai salah satu sumber hukum setelah Al-Qur’an dan Hadits.

Pola pikir yang diinginkan oleh Al-Qur’an, tentunya pola pikir yang sesuai dengan petunjuk, tujuan dan nilai-nilai ajaran Islam. Bukan pola pikir tanpa aturan, tanpa batas, apalagi tanpa tujuan. Sebab yang kedua ini bisa menjerumuskan manusia pada kekeliruan (lebih-lebih dalam masalah yang berkenaan dengan Aqidah) dan kesenjangan (seperti halnya yang terjadi di Negara-negara komunis dan liberal).

Oleh karena itu, sudah sepatutnya orang muslim merasa bangga dan bersyukur menjadi pemeluk agama mulia yang mempunyai ajaran dan petunjuk yang universal ini. Rasa bangga terhadap agama ini merupakan salah satu motivasi untuk mengembalikan eksistensi ajarannya yang sudah hampir lenyap. Islam akan kembali jaya jika ummatnya berjalan sesuai dengan tuntunannya. Islam akan kembali memimpin peradaban bumi ini, jika ummatnya sesuai dengan koridor yang belaku (petunjuk dan nilai-nilai Al-Qur’an dan Hadits). Kitalah – sebagai pemeluk Islam – yang menentukan kejayaan tersebut.

Sebagai terobosan dari kesenjangan yang terjadi selama ini, sudah sepatutnya kita berusaha untuk lebih memahami segala aturan-aturan yang ada dalam agama ini, bukan membuat aturan sendiri dan memaksakan agama untuk mengikutinya. Allah berfirman dalam al-Quran dalam surah An-Nisai ayat 26:

“Allah hendak menerangkan syariat-Nya kepadamu, dan menunjukkan jalan-jalan kehidupan orang yang sebelum kamu…”

Di dalam tafsir Aisar al-Tafasir disebutkan, bahwa ayat ini memberikan gambaran kepada kita semua akan kejelasan kebaikan dan kebenaran. Juga memberitahukan kepada kita bagaimana orang-orang sebelum kita yang teguh pendirian dalam keimanan mereka.

Oleh karena itu, keselamatan kita tidak akan pernah didapat dengan hanya berharap pada pertolongan Allah semata, begitu juga dengan jayanya agama ini. Akan tetapi selalu terikat pada baik atau tidaknya cara pandang orang yang membawa agama tersebut. Kembali kepada pola pikir Islami adalah solusi dari problema yang melanda umat Islam saat ini. Pikiran dijernihkan dan dijauhkan dari keinginan hawa nafsu yang lebih cenderung mengedepankan kenikmatan yang sementara dan melupakan batasan-batasan sejauh mana manusia boleh menggunakan pikirannya. Kita memang makhluk yang berfikir, akan tetapi bukan segala sesuatu harus dengan akal pikiran. Sebab syariat juga mengakui kelemahan daya pikir manusia yang serba terbatas.

Di dalam satu hadist disebutkan sebagai batasan dari peran manusia dalam berfikir: “Silahkan memikirkan ciptaan Allah, dan jangan sekali-kali memikirkan hakikat Allah.

- By: Sufrin Efendi Lubis”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Oase Risalah


Dari Ubadah bin Shamit bahwa Rasulullah saw bersabda: "Barang siapa bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah Yang Esa, tidak ada sekutu baginya, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, dan (bersaksi bahwa) Isa (Yesus) adalah hamba Allah dan rasul-Nya, dan kalimat-Nya yang Dia tiupkan kepada Maryam serta ruh dari-Nya, dan (bersaksi bahwa) surga dan neraka itu benar, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga sesuai kadar amalnya" (HR. Muslim)

Dari Anas ra, Nabi Muhmmad Saw bersabda: "Tidak seorang pun yang bersaksi dengan ketulusan hati bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, melainkan Allah akan mengharamkannya dari api neraka" (HR. Bukhari Muslim).